Disinilah Sniper Terbaik Aceh Bersemayan. Teuku Nyak Radja, Sang Penambak Jenderal Kohler

Halim El Bambi
By -
0




MYHELB MEMBACA ZAMAN
| Saat itu, 1873, di area halaman masjid Baiturrahman situasi sedang memanas.

Jenderal Kohler sibuk menginspeksi anak buahnya untuk menyerbu dan membakar masjid simbolik rakyat Aceh.

Saat sibuk begitu, Jenderal bengis bernama lengkap Johan Harmen Rudolf Köhler itu tidak menyadari kalau 100 meter dari batang hidungnya ada sosok pemuda lagi mengendap-ngendap menuju arahnya, dan ... dooor ! beberapa butir peluru menghantam dadanya. Ia sangat kaget, setengah sekarat berucap; 

"O..God, ik ben getroffen.." (Ya Tuhan, aku kena). Ujarnya meringis sakit. Itulah ucapan terakhir Sang Jenderal pembawa kerusakan bagi bangunan ikonik rakyat Aceh hingga ia tewas didepan masjid Baiturrahman.

Para pejuang Aceh tidak membiarkan tempat ibadahnya itu dibumihangus penjajah Belanda. Serta-merta terus melakukan serangan balasan hingga menewaskan lebih 2200 serdadu Belanda. 

Mayat-mayat itu lalu di kuburkan di pemakaman di Kerkhof, persis beberapa meter disamping gedung Museum Tsunami Banda Aceh. Disana ikut juga dimakamkan mayat Kohler yang sebelumnya sempat diboyong ke Singapura memakai kapal uap Pemerintah Belanda tapi kemudian kembali didaratkan ke Batavia (Jakarta) untuk di makamkan ke Pemakaman Tanah Abang.

Makamnya sempat digusur dan terkatung-katung di Kedutaan Belanda di Batavia (Jakarta). Akhirnya mayatnya di boyong lagi ke Kutaradja untuk dimakamkan di Kerkhof, bersamaan anak buahnya yang sudah duluan dimakamkan sebelumnya.

Pemerintah Belanda sesungguhnya kecewa tindakan Kohler yang konyol melakukan kesalahan terbesar karena berani menyenuh masjid kebanggaaan rakyat Aceh. Namun yang menjadi pertanyaan, siapa sniper (penembak jitu) yang menewaskan sang jenderal itu

Ternyata sniper itu adalah seorang remaja berusia 19 tahun. Saat itu ia tergabung dalam laskar Aceh, gencar mengusir serdadu Kohler dari pekarangan masjid.

Hal itu sesuai pengakuan seorang cucu dari keturunan Teungku Imum Luengbata yang menyebut bahwa sniper itu tak lain adalah kakeknya sendiri.

Teungku Imum Luengbata sendiri merupakan sosok pejuang Aceh yang memimpin kemukiman Luengbata. Ia berasal dari dari garis Teuku Nyak Radja, anak daripada Teungku Chiek Luengbata, keluarga ini adalah keturunan Ulee Balang di Luengbata, Kutaradja yang masa itu masih bagian dari Kesultanan Aceh.
Illustrasi Saat Kohler tertembak didada didepan masjid  Raya Baiturrahman, tepatnya dibawah pohon Glumpang. | IST 

Paska kematian Kohler, Belanda berang dan langsung memerintahkan intelijen untuk mengejar dan menangkap Teuku Nyak Radja.

Tapi Teuku Nyak Radja tak berhasil ditangkap. ia memilih berbaur dengan para mujahid Aceh diseluruh Aceh, mengusir Belanda dari bumi Serambi Mekkah. Hingga sejarah mencatat, makam sniper terbaik Aceh ini berada di Glumpang Minyeuk, Pidie.

Menurut catatan Nanda Saputra, Spesialis Peziarah Makam-makam Bersejarah asal Pidie yang juga Direktur Pedir Research Institute, (Beliau juga saat ini Kontributor MAN 1 Pidie Online), kepada Halim El Bambi dari Redaktur MAN 1 Pidie Online (owner Myhelb Membaca Zaman) mengatakan bahwa Teuku Nyak Raja adalah sosok lelaki yang sangat teduh. Dia memiliki dua anak, Teuku Imum Po Ade dan Teuku Keuchik Po Umar. Teuku Imu Po Ade mempunyai seorang anak perempuan yang  bernama Pocut Luang Bata, yang pada tahun 1874 menikah dengan Sultan Mahmud, Sultan Aceh.

Sedangkan anak keduanya, Teuku Keuchik Po Umar mempunyai empat orang anak, yakni Teuku Imam Banta, seorang wanita yang menikah dengan Keuchik Bingin, Cut Anggur yang menikah dengan Teuku Cut Lam Teungoh dan Cut Po.

Teuku Imum Lueng Bata memang dikenal sebagai salah satu pejuang Aceh di masa agresi Belanda. Dia merupakan seorang pemimpin kemukiman Lueng Bata atau seorang Ulee Balang, putra Teungku Chik Lueng Bata. Sebut Nanda Saputra.

Nanda melanjutkan lagi bahwa, Teuku Nyak Raja juga adalah orang kepercayaan Sultan. Ia juga yang mendirikan Masjid Lueng Bata, sehingga warga disana sering menyebut mesjid ini dengan Mesjid Tuha. Maksudnya, masjid tuha (tua) itu menjadi saksi sejarah sebagai markas mengadakan musyawarah masa masuknya Kolonialis Belanda. 

"Tugas Ulee Balang adalah memimpin Nanggroenya dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu 
juga menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari Sultan. Menyediakan tentara atau perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan." terang Nanda merinci.

"Namun demikian, mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli kekuasaan di daerahnya dan masih tetap sebagai pemimpin yang merdeka dan bebas melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di wilayahnya. Hak-hak ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenang-wenangan para Ulee Balang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman terhadap seorang yang bersalah." lanjut Nanda Saputra yang asli Pidie ini.

Nanda Saputra terus berkisah bahwa ketika kewibawaan Sultan sudah melemah, terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada lagi), yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di Nanggroe-nanggroe adalah para Uleebalang.

Dalam memimpin pemerintahan Nangroe, Ulee Balang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan 'Banta', yaitu adik laki-laki atau saudara Ulee Balang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Ulee Balang bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam 'hukom', yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam.

Berikut ini adalah penjelasan Nanda Saputra mengenai Kedudukan Teuku Nyak Raja dalam Kerajaan Aceh

Teuku Nyak Raja keberadaannya sangat dihargai oleh perangkat dalam Aceh, Istana. Dia juga mendapat sematan pemangku agama dengan gelar 'imum' dan dia juga merupakan pemimpin pemerintahan dilingkungannya. Seorang raja yang wilayahnya tidak termasuk ke dalam tiga kesagian namun dia juga sangat berbakti kepada Sultan Aceh.

Reputasinya memuncak ketika dia beserta Panglima Polem dan Tuanku Hasyim diangkat sebagai wali Sultan terpilih yakni Muhammad Daud Syah, yang pada saat itu masih berusia tiga tahun. Ketiga tokoh ini menempati posisi Habib Abdurrahman yang pada saat itu telah tinggal diluar negeri.

Kedudukan yang istimewa sehingga ke Ulee Balangnya tidak dikenakan pajak Kerajaan. Para ketua Luengbata juga sering diundang ketika rapat-rapat dalam Istana. Di forum kerajaan Ulee Balang Lueng Bata mempunyai kedudukan khusus sebagai dewan pemilih Sultan Aceh yang baru.

Teuku Nyak Raja juga sebagai guru agama yang paham akan kegersangan sosial yang rusak akibat Belanda. Dia tidak mau hanya berdiri tanpa berkontribusi untuk melawan para penjajah, untuk itu dia bangkit dan melawan Belanda langsung ke medan pertempuran dengan keahlian yang dimilikinya. Teuku Nyak Raja semakin dikenal Belanda bahkan dia termasuk buronan yang dicari Belanda.

Perlawanan Teuku Nyak Raja dan keberhasilannya dalam mengahapi agresi Belanda

Selain itu Teuku Nyak Raja juga bertugas dalam menempatkan pos-pos pasukan, pos bergerak, serta menyiapkan area beroperasi dan para pemimpinnya. Dia juga mengendalikan julur-julur serangan ke pos-pos Belanda dengan tali komando wireless-nya bahkan dari tempat yang sangat jauh. Lueng Bata merupakan daerah yang banyak ditemukan pasukan-pasukan paling berperan ketika terjadi Perang Aceh.

Setelah Kerajaan berhasil dikuasai oleh agresi Belanda maka, Teuku Nyak Raja dan Teungku Chik Lamnga berusaha menaklukkan Meuraksa. Dengan pasukan yang memakai pakaian serba putih mereka membakar kurang lebih 250 buah rumah di Meuraksa, tetapi mereka dapat dipukul mundur oleh Belanda.

Namun kekalahan ini tidak menyebabkan Teuku Nyak Raja dan Teungku Chik Lamnga berputus asa. Pada bulan Juni dan Agustus 1874 mereka mendirikan benteng-benteng disekitaran kawasan yang didudukin Belanda serta mendapatkan bantuan sebanyak tiga atau empat ribu orang yang datang dari Mereudu dan Peusangan mereka mencoba menaklukkan Meuraksa. Tetapi keberanian dan kegigihan tidaklah memadai karena kekurangan peralatan dan perbekalan dalam melakukan serangan-serangan dan menyebabkan usaha pihak Aceh tidak berhasil.

Ketika menyadari perang-perang gerilya Aceh semakin merajalela didaerah-daerah lain, termasuk digunung-gunung yang dalamnya sangat banyak kesempatan operasi-operasi militer Belanda mampu dihempaskan, membuat para jenderal Belanda semakin gusar dan berencana mereposisi  kantong-kantong pasukan yang tidak perlu untuk menambal daerah pertahanan Belanda di zona-zona pertempuran, tempat pergerakan pasukan Aceh.

Beberapa daerah disekitar Kutaradja, seperti Meuraksa, mulai dikosongkan secara berangsu-angsur. Saat itu, Meuraksa telah menjadi pangkalan militer Belanda termasuk kedalam zona aman dari serangan para kombatan Aceh. Teuku Nyak Raja menyadari hal tersebut lalu mengisyarakatkan kepada beberapa senopati Perang Aceh memilih tanding untuk mengacau-balaukan reposisi pasukan.

Rakyat Aceh berjuang karena ideologi yang dianutnya, sehingga anggapan Belanda setelah bertempur rakyat Aceh akan kalah dan menyerah pada tahun 1874 anggapan tersebut meleset seperti perkiraan. Belanda mengalami kepanikan mengenai bagaimana usahanya dalam menghancurkan kedaulatan Aceh. Belanda mempropagandakan ke seluruh dunia bahwa rakyat Aceh sudah bisa ditaklukan. Namun semangat orang Aceh yang tidak pernah menyerah Terhadap situasi apapun, mereka terus melawan.

Begitulah catatan Nanda Saputra. Ia mendapat informasi mengenai makam sang Pahlawan ini bersumber dari salah satu keturunannya yang bertempat tinggal di Teupin Raya dan sudah lama berdomisili di Tijue, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie.

"Lokasi makamnya di Pinggir jalan Raya Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh." ujarnya. Ia sempat menziarahi makam Sang Penembak Kohler untuk dikirim ke Buletin MAN 1 Pidie Online | Halim El Bambi | All Rights Reserved  

Nanda Saputra di depan makam 'Sang Sniper'. | DOK IST

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)