Aneuk Aceh di Medan Perang Dunia: Dari Wartawan Perang ke Politisi (1)

Halim El Bambi
By -
0

 


Taufiqulhadi, seorang mantan wartawan perang yang mewariskan dua buku laporan jurnalistik berharga.

Buku pertama Taufiqulhadi, “Menembus Sarajevo: Kesaksian Pembersihan Etnik di Bosnia”, terbit setebal 144 halaman pada November 1994 dan dipersembahkan untuk sang Ibunda, Pocut Adnen. Buku keduanya “Ironi Satu Kota Tiga Tuhan” terbit enam tahun kemudian. Yang satu melukiskan kekejaman seumur jagung di negeri-negeri bekas Yugoslavia, yang lainnya mengurai konflik tak berkesudahan antara Israel dan Palestina.

Lebih dari demonstrasi penguasaan isu dan sejarah Balkan, “Menembus Sarajevo” merupakan pernyataan tegas, kadang teriakan sedikit emosional, seorang wartawan sekaligus saksi mata. Yang terjadi di Bosnia bukanlah perang saudara, sebagaimana dikaburkan oleh mayoritas media Barat. Ini sebuah agresi, sebuah pembantaian etnik!

Taufiqulhadi, ketika itu bekerja sebagai reporter Media Indonesia, menggambarkan bagaimana perang di negeri bekas Yugoslavia yang dimulai pada 1992 tersebut tidak pernah berjalan seimbang. Serbia mengerahkan seluruh kekuatan militernya, sementara Bosnia-Herzegovina, yang mayoritas penduduknya Muslim, melawan nyaris tanpa bala tentara.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan bukusakuwartawan, Janurgunung mengisahkan ketika ia berkunjung ke rumah Nenek Ermina dalam sebuah momen lebaran di Bosnia, ia menceritakan banyak hal. Perempuan renta itu dipaksa bersembunyi sepanjang hari di lantai bawah tanah rumahnya yang sudah porak-poranda di jantung kota Sarajevo. Tak kurang dari 54 kali tempat tinggalnya itu dihantam peluru dan mortir.

Pertemuan Taufiqulhadi dengan Nenek Ermina dibumbui banyak senyuman dan tawa kecil. Namun justru deskripsi itu membuat saya makin serius mempertanyakan: kenyamanan seperti apa yang bisa kamu harapkan jika desing peluru dan ledakan mortir berseliweran setiap hari? Tidakkah kamu was-was kalau salah satu dari benda mematikan itu bisa menerobos rumah lalu tiba-tiba menembus dadamu? Atau dada anak-cucumu? Malaikat maut seolah-olah setia mengintip di balik pintu rumah.

Ribuan nyawa melayang di Bosnia, tidak semua menjadi cerita. Taufiqulhadi menuliskan, peristiwa kematian gadis kecil Amira Zdizdic merupakan salah satu kisah tragis yang menyedot perhatian publik, yang diputar berulang-ulang di layar televisi. Keceriaan yang menjadi sumber penghiburan keluarganya di tengah suram perang direnggut oleh peluru penembak gelap.

Para wartawan peliput perang bukannya luput dari ancaman serupa. Taufiqulhadi bercerita bagaimana ia harus berlari-lari kecil sambil terus merunduk setiap kali pergi dan kembali ke rumah penduduk tempat ia menginap. Juga di jalan-jalan utama kota yang terbuka, ia mengendap-endap. Bahkan ketika menunaikan salat, ia merasai kedua lututnya gemetar, kehilangan kemampuan menopang tubuhnya, begitu mendengar bunyi tembakan dan ledakan tak jauh dari pelataran masjid.

Taufiqulhadi menyadari betul risiko seperti ini sejak pertama kali ditugaskan. Ia merasa perlu menyiapkan diri secara mental meski hanya punya waktu sepekan.

“Betapapun pengalaman meliput perang di Bosnia, yang dalam waktu dua tahun telah menewaskan 66 wartawan, pasti bukan tugas biasa, apalagi untuk dinikmati seraya makan es krim,” tulisnya.

Barangkali keyakinannya pada luhur nilai-nilai kemanusiaan yang menguatkan Taufiqulhadi menuntaskan tugas peliputannya di Sarajevo. Barangkali keyakinan ini pula yang membuatnya mencantumkan kesimpulan penting di penghujung buku. Menurutnya, hanya ada dua cara penyelesaian perang. Pertama, konflik diselesaikan dengan penghargaan mutlak atas batas-batas negara. Kedua, harus ada aksi militer oleh masyarakat internasional.

Analisa sang wartawan terbukti tajam. Setahun setelah “Menembus Sarajevo” terbit, tepatnya Desember 1995 perang yang menewaskan lebih 100 ribu orang itu berhasil diakhiri. Salah satu peristiwa kunci yang mendahuluinya adalah keputusan NATO mengintervensi konflik tersebut. []

banner

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)