'Tgk'
Oleh Halim El Bambi | Pengamat Perilaku Sosial-Media
Akhir-akhir ini, ada beberapa sahabat medsos yang sering baperan dan geragetan kepada sahabat saya lainnya. Pemicu baperan itu adalah saat saya memanggil sahabat saya Roman Syah dengan sebutan diawal nama 'Tgk'. Salahkah saya menyebut 'Tgk' kepada sahabat saya itu? Atau 'Tgk' itu hanya boleh saya panggil kepada seseorang yang memiliki tingkat pemahaman agama Islam yang tinggi saja?
Pertanyaannya, apakah 'Tgk' itu memang hanya disematkan kepada pemuka agama saja? Sementara yang nihil paham agama layak saja kita panggil 'gam'. atau 'Apa', atau 'bapak' dst? Mari kita membuka cakrawala sedikit, sebelum berbuka tiba.
Dikutip dari buku Uleebalang dari Kesultanan Hingga Revolusi Sosial (1514-1946) karya Hasbullah, di Aceh, ada beberapa gelar yang sangat familiar didengar; Sultan, Teuku, Teungku, Tuwanku . Empat gelar ini sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh 1874.
Tapi, yang perlu kita bahas disini adalah 'Teungku (Tgk)', yang selalu menjadi bahan baperan banyak orang kepada orang lain yang dipanggil begitu.
Menurut Hasbullah, gelar teuku (bagi laki-laki) dan cut (bagi perempuan) diperuntukkan untuk keluarga uleebalang/raja dan keluarganya di 'wilayah otonom' yang tunduk kepada Sultan Aceh. Gelar ini berlaku secara turun-temurun, meskipun mereka tidak menjabat sebagai uleebalang.
Setelah ratusan tahun berlalu, kelompok uleebalang akhirnya memiliki kedudukan yang sama dengan masyarakat umum sejak 1962 lalu. Hal itu terjadi setelah berakhirnya perang DI/TII Aceh dan Teungku Muhammad Daud Beureueh kembali ke NKRI.
Kini, meski uleebalang sudah tidak ada, nama teuku masih tetap dipakai di Aceh, dengan catatan, bila seorang ayah bergelar teuku mempunyai anak laki-laki, maka nama depan anaknya juga anak dibuat 'teuku' atau 'cut'. Itu terus berlaku hingga keturunan selanjutnya. Seorang 'Cut' yang menikah dengan non 'Teuku', ketika punya anak, tak lagi bisa digelari 'Teuku' atau Cut diawal nama anaknya karena 'nasabnya' sudah hilang.
Sementara 'Teungku' (tgk) merupakan gelar keagamaan yang diberikan kepada santri, atau guru yang memiliki pengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan. Dikutip dari situs Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Jaya, gelar teungku diberikan baik kepada pria maupun wanita secara umum.
"Orang-orang yang memberikan pengajaran dasar mengaji Al-Qur'an juga sering diberi gelar teungku, termasuk juga orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji". (Catatan Majlis Adat Aceh).
Di Aceh, hampir semua orang laki-laki disapa dengan sebutan teungku (Tgk). Saya pun pernah dipanggil 'Tgk' ketika pergi ke sebuah pemukiman di Krueng Seumideun, Peukan Baro, Pidie. Orang tua disitu, baik laki-laki maupun perempuan (tua), yang melihat saya adalah seorang pendatang baru dari perantauan (yang dulu lama di Medan) secara mengejutkan dipanggil 'Tgk' Halim saat saya dipersilahkan mencicipi 'hidangan khanduri maulid nabi'.
"Tgk kajeut neulangkah u dalam." sapa seorang perempuan paruh baya, tuan rumah yang mengundang saya untuk makan khanduri.
Hal yang sama juga dilakukan kepada para tamu dari kampung lainya, yang juga ikut diundang.
Dapat disimpulkan, secara umum, panggilan Teungku (Tgk.) merupakan gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh yang bukan hanya untuk menghormati seseorang, melainkan sebuah sapaan yang mengandung doa.
Misalnya, setiap orang yang kita panggil 'Tgk', entah itu dia berlatar kurang paham agama, jarang mengaji, atau belum pernah ke haji sekalipun, panggilan 'Tgk' selain penghormatan juga sebuah doa baginya agar ia merasa terpacu untuk ahlak mulia. Jadi tak meski dia itu sosok Tgk yang memiliki ilmu agama sangat tinggi, siapa saja orang Aceh berjenis kelamin laki-laki, kerap dipanggil Tgk.
Seperti ditegaskan dalam hadih maja; "Aceh teungku, Meulayu abang, Cina toke, kaphe tuan". Pepatah tersebut dalam Bahasa Indonesia dapat ditafsirkan bahwa orang Aceh bergelar teungku, orang Melayu bergelar abang, orang Cina bergelar tauke, dan orang Eropa bergelar tuan. Meskipun secara khusus 'Tgk' juga merupakan gelar kepakaran dalam keagamaan di Aceh yang layak melekat yang berhak menyandangnya. Misalnya; Teungku Chik di Tiro dan Teungku Hasan Krueng Kalee, dst.
Gelar kepakaran teungku juga dapat disandang agamawan dari kalangan wanita misalnya Teungku Nyak Fakinah, dengan penabalan tambahan 'Nyak', sebagai tanda bahwa itu berjenis kelamin wanita.
Jadi, apa salahnya saya misalnya memanggil Roman Syah dengan 'Tgk'? Atau saya juga bisa aja memanggil orang-orang yang baperan kepada 'Tgk Roman Syah' saat saya panggil 'Tgk' juga dengan panggilan 'Tgk', nggak masalah, kan? Terima saja kan? Sebab itu juga doa.
Jadi, biarkan orang memanggil orang lain dengan panggilan awal 'Tgk'. Asal jangan mengaku diri sendiri 'Tgk', sebab yang berhak menabalkan 'Tgk' itu hanya orang lain kepada kita, bukan diri kita sendiri yang lebay sendiri.
Semoga otak kita selalu kita kedepankan pada hal-hal yang positif, tidak perlu langsung berburuk sangka kepada orang lain, sebab diri kita pun berupaya mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik, seperti 'Tgk', sebagaimana harapan orang lain, yaitu dengan memanggil kita 'Tgk' ! | Halim El Bambi