Oleh: Halim El Bambi (Milah Yabmob) | Badan Kajian Strategis - Media dan Publikasi Irwandi - Nova Pusat dan DPP PNA.
Saya tertarik mengulas sedikit analisa cerdas pakar hukum/politik kebanggaan Aceh, Bapak Mawardi Ismail yang menyebutkan hasil pilkada saat ini sebagai 'Silent Power Gusur Hegemoni Politik di Aceh', sebagaimana yang dilansir Harian Pagi Serambi Indonesia (18/2).
Mantan Dekan Fakultas Hukum universitas Syiah Kuala ini menyebutkan bahwa runtuhnya hegemoni politik partai berkuasa di Aceh saat ini disebabkan telah munculnya kesadaran politik rakyat Aceh yang disimbolkan sebagai sebuah kekuatan senyap (silent power).
Dalam frasa-frasa politik, kita belum pernah menemukan istilah 'silent power'. Yang paling jamak kita dengar justru 'revolution power' (kekuatan revolusi) yang banyak terjadi dinegara-negara bekas jajahan (kolonial), termasuk Indonesia sendiri. 'Revolution Power' bercerita tentang sebuah kekuatan rakyat yang bangkit melawan penindasan dan kezaliman hingga ketidakadilan itu runtuh binasa.
Kemungkinan terbesar, 'silent power' yang dipopulerkan Mawardi Ismail tidak jauh bedanya dengan 'revolution power' yang aktor penggeraknya adalah rakyat (peoples power) yang sudah cerdas dalam berdemokrasi. Bedanya, bila 'revolution power' lebih menargetkan meruntuhkan hegemoni kekuasaan tingkat negara, maka 'silent power' ditujukan untuk menggusur dominasi (oknum) partai hypokrit lokal yang sedang berkuasa di Aceh, yang ditenggarai menjadi benalu dan penghambat pembangunan.
Bila kita kaji lebih lanjut pra perdamaian, kondisi Aceh sudah sangat luluh-lantak oleh konflik. Hampir 40 tahun Aceh didera konflik bersenjata. Sudah ribuan nyawa menjadi korban yang terdata dari berbagai pihak. Janda dan anak yatim sudah tak terhitung jumlahnya. Bangunan sekolah yang dibakar masa konflik telah membuat grafik pendidikan bagi generasi Aceh menjadi anjlok. Ekonomi runtuh dan pada akhirnya pembangunan menjadi terhambat.
Berbagai upaya perdamaian yang digagas negara dan pihak asing sering mental. Sehingga rakyat Aceh masih dirundung trauma berat. Sulit untuk bangkit. Hingga musibah gempa dan tsunami dahsyat melanda Aceh dipenghujung 2006, telah menyadarkan penghuni peta Aceh agar 'instrospeksi massal'.
Paska tsunami dan perdamaian, muncul partai hegemoni pertama di Indonesia. Partai itu melambangkan marwah bangsa Aceh. Ada 5 juta lebih rakyat Aceh menggantungkan harapannya pada partai 'keacehan' itu. Namun dalam perjalananya, partai itu hanyalah milik kelompok 'oknum' tertentu. Sebagian petingginya kecewa berat dan memilih hengkang dari 'partai hegemoni' itu. Mereka menyebut dalam partai itu sudah diisi 'orang-orang gila kekuasaan dan harta'.
Irwandi Yusuf memilih banting setir dari 'partai hegemoni' dan mendirikan perahunya sendiri. Disinilah--mungkin-- awal mula kebangkitan 'silent power' dimulai.
Sebab, sejak 'partai hegemoni' berkuasa, masyarakat bukanya mendapat berkah pembangunan dan pelayanan yang prima, sebaliknya mendapat teror dan intimidasi bila tidak memilih partai hegemoni ini. Tekanan lebih hebat mengarah kepada kubu Irwandi Yusuf yang mendirikan Partai Nasional Aceh (PNA). Partai ini dianggap oleh partai hegemoni itu sebagai 'partai para pengkhianat', partai benalu karena dianggap akan meruntuhkan partai hegemoni.
Selama teror, intimidasi dan berbagai kezaliman dahsyat yang menimpa Irwandi Yusuf dan pengikutnya, pelan namun pasti rakyat mulai menaruh simpatik kepada tangan kanan kesayangan (alm) Hasan Tiro itu. Apalagi ketika Tgk Agam, anak Aceh Jeumpa yang badung tapi cerdas ini menjabat gubernur, ada banyak 'investasi kebaikan' yang ia torehkan, sehingga rakyat pun mulai membanding-bandingkan pemerintahan dirinya dengan pemerintahan ZIKIR yang notebene masih dibawah 'partai hegemoni'. Ternyata rakyat lebih simpatik kepada Irwandi Yusuf.
Kondisi ini membuat 'oknum-oknum partai hegemoni' semakin gerah sehingga mereka berubah menjadi paranoid. Berbagai macam cara mereka tempuh untuk menjegal Irwandi Yusuf. Mulai dari upaya pembunuhan sampai menzaliminya habis-habisan dengan berbagai teror dan intimidasi kepada pengikutnya. Kondisi 'bar-bar' itu memuncak sejak ia mencoba bangkit dalam Pilkada 2012 silam.
Beruntungnya, rakyat Aceh cepat tersadarkan dengan situasi politik Aceh 2017. Rakyat Aceh sudah semakin cerdas. Konsep politik bar-bar yang masih dipertontonkan 'partai hegemoni' itu sudah tidak mempan lagi untuk mempengaruhi dan bahkan mengubah pilihan politik rakyat Aceh.
Apa yang dianalisa Mawardi tepat. Kondisi kesadaran dari kecerdasan rakyat Aceh dalam kehidupan berdemokrasi sudah benar-benar terlihat. Buktinya, rakyat Aceh saat ini sudah tidak lagi termakan iming-iming janji palsu, apalagi iming-iming uang. Masyarakat lebih melihat program apa yang 'dijual' para paslon sehingga hal itu menjadi indikator dipilih atau tidak pasangan tersebut.
Nah, disinilah 'silent power' berbicara. Saat pencoblosan, rakyat lebih mendengar bisikan hati nuraninya ketimbang mendengar bisikan pihak lain. Mereka memilih secara merdeka, tanpa perlu diintervensi berbagai pihak, lebih-lebih pihak yang kepanikan hegemoni kekuasaannya akan terancam.
Maka, hasil pilkada Aceh pada tahun ini, bisa dikatakan sebuah 'finishing' terbaik dalam sejarah demokrasi di Aceh. Rakyat Aceh tak perlu berkicau siapa yang ia pilih. Rakyat Aceh tak perlu diancam atau diintimidasi untuk memilih salah satu pasangan. Rakyat Aceh tak perlu gembar-gembor paslon mana yang akan ia coblos, sebab 'Silent power' ternyata benar-benar yang berbicara. Siapa yang mau protes pilihan hati rakyat? Irwandi-Nova adalah jawaban 'silent power' rakyat Aceh! Selamat ! | Halim El Bambi (Milah Yabmob) | Badan Kajian Strategis - Media dan Publikasi Irwandi - Nova Pusat dan DPP PNA.